Pages

Sunday 17 October 2010

I do luv u mom



How to appreciate our mother’s faith.

Tidak pernah ingat bagaimana rasanya keluar dari rahim yang ketika guru biologi menjelaskan ruang elastis bagi pertumbuhan jabang bayi dan terkoneksi dengan salah satu ujung dari lubang hidup kekuatan wanita. Sama halnya tidak pernah terbayang begitu berat perjuangan sosok yang punya jiwa besar mengeluarkanku dari lubang hidup yang masih kata guru biologiku akan berubah menjadi seperti karet ketika sensitivitasnya tersentuh oleh benda menggeliat meronta menahan kedinginan ketika keluar dari singgasana kebesarannya selam 9 bulan 10 hari. Dan hampir tidak pernah percaya sosok makhluk Tuhan yang paling mulia itu langsung menghadirkan derasan suplai makanan yang membuatku diam seribu bahasa meninggalkan air mata hanya untuk menikmati aliran mata air menerobos kerongkonganku. Benarkah hal itu semua pernah terjadi dalam hidup setiap makhluk Tuhan yang telah menjadi titah bagi sosok makhluk Tuhan yang paling mulia?
Tak terhenti pada fase itu saja, saat orang berceloteh memuji sosok mungil yang telah menjadi titah Tuhannya, sosok yang paling berbangga atas kemunculan makhluk polos itu merajut senyum tiada henti. Puji-pujian syukur membahana di relung hati hingga sang khalik pun menaruh hati pada pujangga yang menerima titahnya.
Aku memanggilnya ibu. Dan bukan mama, bunda,emak atau kebanyakan orang memanggil mami. Kata ibu menurutku lebih cocok untuk wanita jawa yang aku banggakan saat ini. Saat ini??! Bukan, jelas bukan saat ini saja. Aku membanggakan ibu jauh sebelum saat ini, hanya aku mengakui bahwa kebanggaan ini semakin membuncah deras, sederas aliran asi yang pernah beliau kasih kepadaku 2 tahun lamanya hingga membuatku terlelap dalam tidur.
Tidak pernah terbayang sebelumnya kalau aku akan membuat diriku terlihat bodoh di depan teman-temanku hanya karena memikirkan ibu. Yah, kangen tepatnya. Rasa ini belum pernah aku rasakan sedemikian hingga sampai aku pun tak mampu berceloteh merespon apa yang mereka tanyakan padaku, hanya aliran air mata yang mampu menjawab dengan sama sekali tidak tuntas. Mereka menyodori selembar tissue yang rasanya tak akan mungkin bisa bekerja sepenuh hati karena tak sanggup menahan rintihan kantung mata. Aku hanya mampu menahan sendiri dan tersenyum, “i’m fine guys. Thanks for ur attention. Wish for, it wasn’t plastics fake”.
Aku menyesali keputusanku. Menyesal dengan tanpa ada daya, hanya menyesal. Keputusan mengapa aku tidak mengenal ibu lebih dekat, lebih dalam dan lebih membanggakan dirinya sebelum pendampingku melewati calon 3.5 tahun ke depan membawaku terbang melewati berbagai rintangan dimana aku akan lebih banyak membutuhkan dukungan. Bukan karena ibu tidak mendukung keputusanku, hanya terkadang hati menuntut membuat pengakuan kalau aku salah. Apatis, aku tak menghiraukan berbagai pengakuan hati yang terus membuntutiku menyalahkan emosi hingga ubun-ubunku menguap yang pastinya hanya akan berujung pada ceramah Tuhan. Aku lebih menghiraukan penyesalanku akan apatisme diri. Mengapa aku tak merasakan ini semua lebih lama jauh sebelum hari ini datang??! Mengapa hanya ada gerutu yang terkadang mewarnai hari-hari dengan ibu saat bersamanya? Mengapa hanya ada kesal dalam hati yang tak aku utarakan dan aku jadikan umpatan dibelakang beliau?! Bodoh sungguh bodoh. Aku merelakan semua orang menghujatku dengan kata-kata “bodoh”, dalam konteks mengenal ibu. Silakan..! karena memang itulah kenyataannya, aku pun menyesal. Ibu ternyata menyimpan sejuta feedback mematikan dan bahkan bilangan numerik pun terlampau jauh pembandingnya. Feedback yang akan dirasakan untuk semua terkasihnya dan mereka pun akan menyesal dengan tatapan letih untuk mengejar sentuhan tangan yang mulai keriput dan berkata, “ i do luv u Mom!!”
Selamat Hari Ibu, 22 Desember


No comments:

Post a Comment