Pages

Saturday 30 October 2010

HIRAU


Terjeram dalam pekat dian nanar
Tak dirasa geseran sendi sedari dahulu berlubang
Panas menatap mantap, dingin terusir sayu senyap
Ketika terurai sekelumit pengakuan, dosa sang empu tak terbantah
Sosok buliran membentuk dimensi kebaikan
Nyata saja tak mampu mengubah haluan dan pendirian
Entah, blokade tak berujung kepastian menghilang, tak berhasil menyeruak mata rantai
Sayup terdengar rintihan, kembali meminta
Namun penggubah nada telah lelap dalam tidurnya
Lelap, tak berbekas

Sunday 17 October 2010

Perjalanan Siang, Jakarta-Bogor


Rangkaian lokomotif bergerak perlahan meninggalkan stasiun Jakarta Kota, menghampiri belasan stasiun lainnya melalui lintasan panjang rel kereta untuk satu setengah jam kemudian menempati lintasan terakhir stasiun Bogor. KRL commuter Jabodetabek membawa ribuan penumpang dalam satu hari penuh beroperasi dengan klasifikasi kereta berbeda jenis. Kereta ekonomi, ekonomi AC, atau pakuan ekspress. Tentu masing-masing memiliki perbedaan yang sangat dan kentara konkret baik dari segi fisik kereta maupun segi operasional kereta. Ekonomi identik dengan kelusuhan, pakuan ekspress berstereotipe kebanggaan buruh kantoran, sementara ekonomi AC mengandalkan kacamata menengah.
Lihatlah, lebih banyak bocah-bocah berkarung lusuh tengah bermain dalam rangkaian lokomotif ekonomi. Mereka membentuk koloni dengan sesekali memasang air muka berat dan jatuh, kemudian beriringan berbagi tugas menempati setiap lokomotif, menjajakan kantung plastik bekas permen berisi beberapa lembar daun uang, dan kemudian lari tergelak tawa ketika tugas telah usai. Mereka membentuk koloni kembali, melakukan toast kecil dengan kepuasan sanubari atas keberhasilan sebagai penjaja air muka yang beradu dengan suara sumbang. Sepakat untuk berhenti sejenak, koloni kecil beranggota 5 bocah berperawakan kurus kering bercelana pendek merah yang dikenali masih menempati salah satu bangku sekolah dasar, entah kelas berapa. Gigi-gigi mereka berjejar cukup rapi dengan hiasan sedikit corak membentuk plak, rambut mereka sesekali terbang menari bersama angin, tapi memang salah satu dari kelima bocah tak memiliki rambut. Mereka berhenti di salah satu stasiun, bergegas mencari seorang ibu yang mungkin telah menjadi langganan panganan kecil. Atau mungkin saja si ibu berperawakan gemuk adalah induk mereka? Kemungkinan bisa saja terjadi. Kereta mulai bergerak perlahan setelah memberikan kesempatan agung bagi sang angkuh ekspress melewati lintasan rel terlebih dahulu. Tak lama kemudian sayup terdengar alunan suara nan sumbang dan asal saja bernyanyi tengah bergerilya mencoba mengejar ketertinggalannya mengikuti alunan musik dari sebuah radio butut. Seorang bocah kembali hadir dari ujung persambungan loko. Sekitar 9 tahun umurnya, namun kali ini tidak ada bagian yang menunjukkan identitas bangku mana yang ia tempati. Berada tepat di sisi tangan kanan tersembul malu seorang sangat bocah berlabel sangat kecil, mungkin sekitar 4 tahun, entahlah. Berjalan perlahan dengan bungkus bekas molto soft ultra yang menggantung di ujung tangan. Sambil bernyanyi ala kadarnya, bocah 9 tahun menginstruksikan pergerakan kaki bocah kecil 4 tahun untuk berjalan menelusuri puluhan orang lusuh pula. Lusuh yang lebih tepat disebabkan oleh aura ekonomi yang memang lusuh. Seperak mereka kumpulkan dari ujung hingga ujung lokomotif, entah sejak pukul berapa mereka berada di sana. Sayup sayup suara sumbang dan iringan musik radio butut terkalahkan oleh kehebatan persilatan angin yang melawan balik arus kereta, dan kicauan penjaja lainnya yang tengah bertopeng sebagai seoarang sales dadakan.
Kembali menyembul diantara puluhan penjaja lainnya, entah telah berapa kali mondar-mandir selama setengah jam kebelakang. Jelasnya, tidak terperhatikan dengan seksama berapa kali ia kembali melewati gerbong yang sama, seorang bocah kembali hadir dengan suara lantang dan kelihaian menarik ulur harga. Membawa satu bakul besar berisi buah yang dipanggul diatas pundak sebelah kanan dengan berteriak mempromosikan diskon besar.  Terjadi proses tawar menawar, sangat rinci ia menarik ulur harga yang tanpa diprediksi pula ia pun tetap akan berada pada alur ego sang rajanya, mengikuti keinginan raja menawar harga daripada ia tidak mendapat untung barang satu perak. Rasa lelah seharian harus mendapat ganti setidaknya untuk makan, mungkin itu yang tersembunyi dalam setiap detik nafasnya. Tarikan nafas cukup berat, ternyata memang berat.
Koloni gangster kecil, bocah sangat kecil dan bocah serta bocah pintar penjaja tarik ulur harga seperti pada ilustrasi kehidupan di atas lusuhnya kereta ekonomi adalah masih merupakan sepernol koma dari bagian kecil lusuhnya panggung anak-anak. Mungkin tagline macam dunia hiburan anak-anak yang indah tidak sepenuhnya terbukti dengan sangat sempurna, atau mungkin ganti saja tagline tersebut dengan macam kalimat klise seperti duniaku duniamu. Terlalu memaksa memang tagline tersebut, namun ide untuk merekonstruksi awang-awang mengenai indahnya masa anak-anak sepatutnya dilakukan. Memang benar hal itu terjadi pula, hanya untuk mereka yang mendapat kesempatan di panggung hiburan indahnya anak-anak.
Realita yang tidak dapat ditawar bagi mereka adalah mencari uang sebagai perbekalan sampingan sekolah. Atau mencari uang  untuk tuntutan hidup atas orang lain. Sekali lagi kemungkinan selalu dapat terjadi. Hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh mereka, dan tidak semestinya diacuhkan oleh kita sebagai bagian dari lingkungan mereka.
Anak-anak adalah bekal bagi kelanjutan generasi tulang punggung bangsa. Segala sesuatu dari mereka yang akan mempertaruhkan arah kepribadian bangsa selanjutnya. Fase-fase krusial untuk model pembelajaran mereka bukan berada dalam kondisi dan situasi seperti diatas. Secara psikologis pun mereka belum dapat dibebankan tanggung jawab atas dirinya sendiri, belum mengenali kesempurnaan diri, pikiran dan arah tujuan. Hal yang semestinya mereka lakukan adalah membekali diri dengan lebih banyak berada pada tempat dimana intuisi keingintahuan dapat diapresiasikan secara benar.
Retorika bangsa ini memang rumit. Ketika pendidikan tengah menjadi ajang perdebatan antara keinginan untuk maju namun kenyataan tidak berpihak hanya karena ketidakjelasan rencana pembangunan yang sengaja dibelokkan oleh persepsi oknum elit politik, ketika keberpihakan terhadap anak-anak menjadi selamanya metamorfosis tanpa keberhasilan yang cukup signifikan melihat masih banyaknya realita tidak memihak seperti diatas. Bagaimana keyakinan dapat berkembang sementara hambatan terbentuk dengan kesadaran? Mungkin, hal yang dirasa mungkin untuk sedikit keluar diri dari retorika berbasis birokrasi negara adalah kesadaran pribadi yang sedikit lebih beruntung dari anak-anak kereta tadi. Ketika memang mereka tidak mampu menempatkan pendidikan maupun intuisi keingintahuan melalui interaksi lingkungan aman sebagai hal utama, perlu adanya mediator bagi mereka untuk sedikit menempati bagian dari tempat mereka bercerita. Menularkan pengaruh atas mimpi-mimpi pribadi yang lebih beruntung dari mereka. Bukan hanya penyakit yang dapat menular, setidaknya melalui kesadaran, kepedulian dan keinginan pribadi lebih beruntung akan dapat mengundang manfaat bagi anak-anak lusuh dalam kereta, menularkan gairah kekuatan mimpi untuk kemajuan dirinya serta bangsa ini.

I do luv u mom



How to appreciate our mother’s faith.

Tidak pernah ingat bagaimana rasanya keluar dari rahim yang ketika guru biologi menjelaskan ruang elastis bagi pertumbuhan jabang bayi dan terkoneksi dengan salah satu ujung dari lubang hidup kekuatan wanita. Sama halnya tidak pernah terbayang begitu berat perjuangan sosok yang punya jiwa besar mengeluarkanku dari lubang hidup yang masih kata guru biologiku akan berubah menjadi seperti karet ketika sensitivitasnya tersentuh oleh benda menggeliat meronta menahan kedinginan ketika keluar dari singgasana kebesarannya selam 9 bulan 10 hari. Dan hampir tidak pernah percaya sosok makhluk Tuhan yang paling mulia itu langsung menghadirkan derasan suplai makanan yang membuatku diam seribu bahasa meninggalkan air mata hanya untuk menikmati aliran mata air menerobos kerongkonganku. Benarkah hal itu semua pernah terjadi dalam hidup setiap makhluk Tuhan yang telah menjadi titah bagi sosok makhluk Tuhan yang paling mulia?
Tak terhenti pada fase itu saja, saat orang berceloteh memuji sosok mungil yang telah menjadi titah Tuhannya, sosok yang paling berbangga atas kemunculan makhluk polos itu merajut senyum tiada henti. Puji-pujian syukur membahana di relung hati hingga sang khalik pun menaruh hati pada pujangga yang menerima titahnya.
Aku memanggilnya ibu. Dan bukan mama, bunda,emak atau kebanyakan orang memanggil mami. Kata ibu menurutku lebih cocok untuk wanita jawa yang aku banggakan saat ini. Saat ini??! Bukan, jelas bukan saat ini saja. Aku membanggakan ibu jauh sebelum saat ini, hanya aku mengakui bahwa kebanggaan ini semakin membuncah deras, sederas aliran asi yang pernah beliau kasih kepadaku 2 tahun lamanya hingga membuatku terlelap dalam tidur.
Tidak pernah terbayang sebelumnya kalau aku akan membuat diriku terlihat bodoh di depan teman-temanku hanya karena memikirkan ibu. Yah, kangen tepatnya. Rasa ini belum pernah aku rasakan sedemikian hingga sampai aku pun tak mampu berceloteh merespon apa yang mereka tanyakan padaku, hanya aliran air mata yang mampu menjawab dengan sama sekali tidak tuntas. Mereka menyodori selembar tissue yang rasanya tak akan mungkin bisa bekerja sepenuh hati karena tak sanggup menahan rintihan kantung mata. Aku hanya mampu menahan sendiri dan tersenyum, “i’m fine guys. Thanks for ur attention. Wish for, it wasn’t plastics fake”.
Aku menyesali keputusanku. Menyesal dengan tanpa ada daya, hanya menyesal. Keputusan mengapa aku tidak mengenal ibu lebih dekat, lebih dalam dan lebih membanggakan dirinya sebelum pendampingku melewati calon 3.5 tahun ke depan membawaku terbang melewati berbagai rintangan dimana aku akan lebih banyak membutuhkan dukungan. Bukan karena ibu tidak mendukung keputusanku, hanya terkadang hati menuntut membuat pengakuan kalau aku salah. Apatis, aku tak menghiraukan berbagai pengakuan hati yang terus membuntutiku menyalahkan emosi hingga ubun-ubunku menguap yang pastinya hanya akan berujung pada ceramah Tuhan. Aku lebih menghiraukan penyesalanku akan apatisme diri. Mengapa aku tak merasakan ini semua lebih lama jauh sebelum hari ini datang??! Mengapa hanya ada gerutu yang terkadang mewarnai hari-hari dengan ibu saat bersamanya? Mengapa hanya ada kesal dalam hati yang tak aku utarakan dan aku jadikan umpatan dibelakang beliau?! Bodoh sungguh bodoh. Aku merelakan semua orang menghujatku dengan kata-kata “bodoh”, dalam konteks mengenal ibu. Silakan..! karena memang itulah kenyataannya, aku pun menyesal. Ibu ternyata menyimpan sejuta feedback mematikan dan bahkan bilangan numerik pun terlampau jauh pembandingnya. Feedback yang akan dirasakan untuk semua terkasihnya dan mereka pun akan menyesal dengan tatapan letih untuk mengejar sentuhan tangan yang mulai keriput dan berkata, “ i do luv u Mom!!”
Selamat Hari Ibu, 22 Desember