Pages

Monday 15 November 2010

. MENGABADIKAN CELOTEHAN LAMPAU . SEGARIS ALUR TENGGOROKAN DALAM SEBUNGKUS ANUGERAH TUHAN


:: Tuhan memberikan anugerah bagi setiap insan ::
Perlu ketepatan tombak dalam memandang sisi multidimensinya, kemudian segera menganalisa sesuai kebutuhan masing masing. 
Aku belajar kembali. Tetapi pun mempertanyakan ihwal anugerah. Konsepsi seorang usia 9 tahun, tengah duduk di bangku sekolah dasar dan menghadapi pelajaran wajib kewarganegaraan, tentu berbeda dengan seorang dewasa tengah menapaki alur pemikiran atas segala pengalaman dan keberdayaan akal Tuhan dalam persepsi mengenai anugerah. Dalam kelabatan memorial, konsepsi bahwasanya anugerah adalah suatu kebahagian yang diberikan Tuhan dalam wujud kesenangan manusia mendominasi ingatan kala 9 tahun. Sedangkan kebalikan itu semua merupakan musibah. Entah kesedihan, kemalangan dan segala yang berbau mendayu sedah. Persepsi yang membentuk diri dalam merefleksikan ucapan “terima kasih Tuhan” ketika anugerah menghampiri, dan desahan keluhan ketika musibah datang. Sejatinya anugerah adalah bentuk kecintaan Tuhan pada insan melalui dawai kebahagiaan, atau anugerah adalah musibah dalam sekali tempo?
Belajar memaknai hidup, mengendalikan atas segala memoar dalam catatan ringkas, mengeluarkan pandangan telaah analisis untuk menjadi pengisi batin diri. Suatu saat  menjadi amat bermakna. Seorang dewasa tengah menyelami kehidupan sebenarnya, bersiap menjadi hiu ataupun teri di lautan menjadi pilihan. Menapaki detailnya perkembangan ide serta manifestasi garam hidup menciptakan stimulus baru mengenai konsep anugerah. Barang tentu untuk dirinya sendiri akan jauh lebih sempurna sebelum melaunching pada pangsa pasar. Kesempurnaan mengenali diri menjadi amat penting disini untuk menciptakan ketetapan track bagi pemahaman anugerah. Dan aku tengah mendapatkan konsepsi mengenai anugerah, menurut versi.
Bukan hanya sekelumit kebahagiaan saja, anugerah. Tidak pantas hanya mengucapkan “terima kasih Tuhan” tatkala menjunjung tinggi perasaan atas bahagianya. Terima kasih tuhan menjadi makanan keseharian saat ini. Apapun kondisinya. Berujung pada rasa syukur dan itu akan menjadi sangat lebih baik.
17  Juni 2010, tanpa pernah ada bibit – bibit pengharapan atas keberpihakan secuil penyakit nakal. Ibu menemukan onggokan berupa batu menyembul kulit tenggorokan. Mas ari, dokter keluarga sekaligus abang, menduga pembengkakan kelenjar tyroid. Tak masalah, dapat diselesaikan dengan operasi skala kecil. Namun ternyata, entah karena dokter sedang ingin membedah-bedah pasien atau emang keberadaan benda nakal ini yang membuat dokter tertarik menyayat kulit salah satu garis tenggorokan untuk dibelah layaknya hewan kurban, operasi besar harus dilakukan! Dan itu sungguh menyakitkan. Merasakan kesakitan luar biasa, bukan karena tidak mendapat anestasi, atau merasakan menyayatnya tenggorokan dibelah. Lebih menyakitkan dengan bayangan kebutuhan biaya operasi. Aku sangat sensitif mengenai uang! Tidak bermaksud munafik, bagiku setelah kepala garuda meninggal semuanya harus melalui perhitungan. Ketakutan menghabiskan uang sekali tempo akan menyebabkan semakin tidak menentu kehidupan depan nanti. Ibu menguatkan selalu, tak perlu risau atas simpanan emas dan berlian hasil galian kepala garuda. Tuhan selalu memberikan lipatan atas rejekinya pada manusia. Namun tentu saja, aku masih berkutat dengan hal itu.
Cukup membuat pressure, stress atas bayangan tak penting berapa skalasi pembelahan tenggorokan yang biasa menjadi pekerjaan jagal. Astaghfirullah, tentu tak berniat menyamakan diri dengan pekerjaan jagal. Ibu sengaja memesan kamar VIP untuk proses pemulihan pasca operasi. Dan kembali timbul pemberontakan atas ini. Musibah mendapat pengalaman seperti ini, dalam kamus hidup tak pernah tertera keinginan untuk dioperasi. Mengapa menambah berat musibah menjadi sedemikian berat lagi?
Ingin sekali menertawakan diri. Ibu begitu sangat tegar, seperti tak ada masalah dengan apa yang aku pikirkan. Ternyata karena beliau menganggap semua adalah anugerah, bukan musibah. Tuhan menganugerahkan limpahan rejeki setiap jengkal pertautan nafas. Bukan musibah. Tuhan menyempurnakan anugerah menjadi suatu prioritas meneladani sesuatu sekaligus menuntun insan menuai ujian. Tergantung konteks pandangan mata, hati, dan pikiran menyelami itu untuk dipantaskan.
Anugerah dapat dirupakan tuhan sebagai ujian bagi insan. Setiap hari, Tuhan menyebarkan anugerah bagi setiap insannya. Tanpa terkecuali. Kehidupan yang dijalani adalah bentuk apresiasi Tuhan pada kita yang tengah bernafas. Pandanglah kesehariansebagai anugerah, dengan begitu akan merasa selalu tertanam hutang kepada Tuhan untuk sedikit menyempatkan diri berkata “Terima Kasih, Tuhan”.