Pages

Sunday 26 June 2011

I called as The Sexiest City ^









BARCELONA ... ... 
^ bahkan kepekatan dan kedalaman mimpi sungguh tidak kentara, hanya sedikit imajinasi dan simpulan senyum kala itu  ^

Sedikit bercerita,

Aku mulai berani memberi nama "Barcelona is the sexiest city" yang hingga sekarang terpejam dalam kamus hidup sejak kelas 6 SD. Ini akibat serial Meteor Garden, yeah i recognize it. Sangat tidak rela untuk meninggalkan kelanjutan serial tersebut dan terutama F4..!!! Bagaimana mungkin melewatkan bintang yang kala itu menjadi trending topics di Indonesia, sooo handsome..! Itu pengakuan terindah.. (^<^), ..

Well, teringat dengan jelas bahwa saat itu hanya mampu tersenyum membuncah ketika melihat segala keindahan Barcelona yang menjadi latar serial Sanchai dan Dao Ming Tse di Spanyol. Arsitektur, gemerlap kerlip bintang serta tata cahaya kota, all they captured to me have created the great smiling. Hanya tersenyum dan terlintas beberapa slide imajinasi tapi tanpa merasa berani untuk menjatuhkan kadar yang dalam dan pekat untuk bermimpi atas Barcelona. Karena pada saat itu, kelas 6 SD, aku belum menjadi seorang pejuang atas mimpi-mimpiku.  Tidak seperti saat ini yang sedikit cukup berani atas target mimpi. Berkat serial Meteor Garden aku mengenal Barcelona sebagai Kota Terseksi.. :) Xie Xie

Sedikit keberanianku atas suatu target mulai tumbuh sejak peristiwa ditinggalkan sang Kepala Garuda. Bagaimana hal itu turut mengubah segala titik kenikmatan dalam hidup kami sebelumnya untuk menjadi seorang pejuang bagi keluarga. Ketika aku mengharapkan sesuatu dan terimplikasikan melalui pekatnya kalimat dalam setiap lantunan doa kepada Allah berarti itu menunjukkan bahwasanya kadar mimpiku sangat dalam. Dan memang hingga terpenuhinya contrengan di daftar mimpiku hingga saat ini beberapa dari mereka adalah berkat kepekatan dan kedalaman mimpi yang oleh Allah diberikan untukku atas keseriusan doa doaku. Terima Kasih, Allah. Aku yakin Kau mencintaiku.

Namun hal ini tidak aku jumpai dalam ' Barcelona '. Setitik pun aku tidak pernah menaruh harapan pekat untuk dapat meletakkan kaki disana. Hingga saat ini, ketika kesempatan itu menghampiri dengan tanpa rencana, aku percaya bahwa Allah sangat mencintaiku. Dia memberikan Barcelona meskipun dia bukan merupakan lantunan doa doaku setiap malam. Simpulan senyum kelas 6 SD kala itu ternyata menjadi bagian dari doa yang tersampaikan kepada Allah.  

Entah, perjalanan kali ini akan turut membawaku untuk menghampiri "Sagrada Familia" dan "Canaletes" atau tidak. Kedua target yang aku jadikan mimpi setelah mendapat kepastian akan mengunjungi Barcelona. 

Canaletes akan semakin memperpanjang rangkaian mimpiku untuk kembali ke Eropa, terutama Spanyol dan Barcelona suatu saat nanti. Mitos bahwa minum air dari " Canaletes " akan membawa seorang kembali berkunjung ke Barcelona.

Sementara Sagrada Familia adalah gereja yang pembangunannya memakan waktu ratusan tahun. Arsitektur yang sangat indah hingga sekarang ini. Kedua ilustrasi yang aku dapatkan pula berkat serial MG yang memberiku lecutan untuk menciptakan senyuman. Senyuman yang diterima Allah sebagai doa. :)

Sunday 12 June 2011

Efektifitas Media Audio Visual Sebagai Public Diplomacy dan Public Relations : Pengaruh Tayangan Televisi Upin dan Ipin dalam Fungsi Propagandis Perluasan Image Budaya Malaysia di Indonesia


Pada dasarnya, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan mengenai globalisasi. Sejalan dengan konsep globalisasi yang menciptakan fenomena bordless society dimana menekankan pada tingkat interdependensia dan interconnectivity, teknologi komunikasi merupakan sarana penunjang bagi keberhasilan para entitas internasional dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Disadari atau tidak, perkembangan teknologi komunikasi mempermudah proses fenomena bordless society tersebut. Berkembanganya industri jaringan bisnis internasional melalui korporasi di setiap negara atau konektifitas jaringan media internasional merupakan stigma globalisasi yang didukung dengan keberadaan teknologi komunikasi. Dapat dipastikan hampir tidak mungkin bahwasanya mereka bergerak tanpa bantuan teknologi komunikasi. Melalui jaringan TV kabel ataupun tayangan impor, internet, jaringan radio internasional, masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat dipastikan mengetahui informasi yang diinginkan. Jelas bahwasanya revolusi teknologi komunikasi berpengaruh terhadap efektifitas proses globalisasi yang dicirikan oleh bordless society dimana menekankan pada konsep penyatuan entitas dalam skala global. 

Dispersi intensitas globalisasi pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai perspektif kepentingan yang mewakili kegiatan transactional. Dimana lebih bersifat membutuhkan interkonektifitas dalam proses transformasi gagasan seperti pemenuhan atas akses kebutuhan material. Media, sebagai bagian industri dari teknologi komunikasi, adalah salah satu bagian dari dinamika globalisasi yang bersifat dinamis, progressive serta persuasif. Bukan tidak mungkin bahwasanya kebaikan dari bagian teknologi komunikasi yang mendukung tatanan masyarakat tanpa batas dan masyarakat modern dengan tingkat interdependesi tinggi memiliki tendensi profokatif dalam menanamkan pengaruh substansi bagi kalangan tertentu. Media, dalam hal ini, dapat dimanfaatkan sebagai bentuk propaganda yang mewakili suatu kepentingan penanaman gagasan kepada khalayak luas.
Lebih lanjut bahwasanya media berbentuk audio visual, seperti televisi, mempunyai kemampuan lebih dalam keberhasilan penanaman fungsi propagandis. Karena sifatnya yang audio visual dan mampu memberikan efek dramatisasi visual yang sangat kuat bagi pemirsa.  Persepsi yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat
ditentukan oleh televisi. Artinya, melalui kontak (anakanak) dengan televisi, anakanak belajar tentang dunia, orangorangnya, nilainilainya serta adat kebiasannya.[1]

Menurut saya, dewasa ini, teknologi komunikasi tidak lagi difungsikan sebagai instrumen/ medium diantara komunikan dan komunikator dalam kapasitasnya sebagai penghubung informasi atas suatu kondisi. Teknologi komunikasi seperti televisi, radio atau internet (Media) telah menjadi formulasi bagi pemerintahan suatu negara yang memiliki target ruang publik internasional. Hal ini mungkin cukup relevan untuk dikorelasikan dengan eksistensi dan pencitraan suatu negara atas publik internasional. 

Sebagaimana diketahui, dalam ranah kebijakan pemerintah, media mengalami perluasan fungsi dimana bukan lagi menjadi instrumen pemberi informasi melainkan telah menjadi bagian penting dalam proses kebijakan pemerintah.[2] Media memang memiliki proporsi krusial dalam lingkungan sistem proses kebijakan pemerintah, terlebih bagi negara demokratis. Akan tetapi ekstensifikasi daripada pernyataan tersebut mungkin dapat kita kembangkan bahwasanya keberadaan media tidak hanya terkait dengan motivasi adanya kebijakan politis suatu negara. Media menjadi satu paket dengan kebijakan suatu negara. Hal tersebut yang nantinya menunjukkan bahwasanya media berpotensi sebagai konstruksi kerangka strategi politis suatu negara dalam upaya eksistensi pencitraan negara ke publik internasional.
Media merupakan salah satu medium revolusioner globalisasi. Lebih lanjut bahwa media massa berbentuk cetak maupun elektronik merupakan sarana komunikasi yang menjangkau publik secara efektif (Light, Keller, dan Calhoun : 1989). Tidak dapat dipungkiri bahwasanya media memiliki daya magnitude yang menyebarkan persuasi gagasan dan ide kepada publik.  Signifikansinya, negara memanfaatkan media sebagai medium diplomasi publik dan hubungan terhadap publik. Revolusi teknologi komunikasi serta kembali kepada retorika kompleksitas peningkatan interdependensia entitas global menciptakan substansi variatif dalam penampilan media. Media elektronik, khususnya televisi, menjadi salah satu ruang keberhasilan bagi transformasi para pelaku bisnis yang memaksimalkan peran media dalam produksi tayangan film. Terlebih ketika produktifitas film menjangkau ruang publik internasional yang mengindikasikan adanya keberhasilan para pelaku bisnis dan media itu sendiri dalam mentransformasikan nilai-nilai tayangan tersebut. Pada poin inilah efektifitas media dalam pembangunan citra serta eksistensi suatu negara dapat diperhatikan.

Diplomasi Publik (public diplomacy) telah secara umum dikenal dalam sejarah literatur komunikasi internasional lebih dari 20 tahun silam. Dalam hubungan internasional, diplomasi publik diperkenalkan sebagai media pemerintahan suatu negara untuk mengelola citra negara untuk diperkenalkan kepada publik dunia melalui retorika hubungan masyarakat (Grunig : 1992). Retorika hubungan masyarakat (public relation) ini menjadi media bagi pengembangan image suatu negara untuk mempromosikan citra negara melalui fungsi diplomasi publik.[3]  Diplomasi publik dianggap lebih efektif untuk membangun dan mengelola pencitraan positif suatu bangsa dan meredam citra negatif di dunia internasional. Namun selain difungsikan sebagai media pembangun citra negara, diplomasi publik diimplementasikan untuk turut mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara (Manheim;1994). Revolusi teknologi komunikasi, pengaruh globalisasi serta aktivitas pelaku bisnis yang membangun sentrum bisnis melalui fungsi media merupakan konstruksi daripada upaya diplomasi publik yang dilakukan para non state actors tetapi memberikan kontribusi terhadap perkembangan negara tersebut. Interdependensi serta interconnectivity yang menjadi ciri khas dari globalisasi jelas mempengaruhi pola transformasi pengembangan output gagasan mereka ke luar dari ruang kewilayahan. Sehingga dapat dipastikan bahwasanya pergerakan para non state actors yang membawa variabel output gagasan (melalui media) mereka akan serta merta membawa nilai dari khazanah kultur budaya negara asal mereka. Dan secara tidak langsung deskripsi/ image negara asal akan turut terwakili oleh substansi dari produktifitas industri media.

Salah satu bagian penyelenggaraan aktivitas media adalah produktifitas tayangan baik kajian informasi seperti berita maupun tayangan hiburan seperti film maupun reality show. Dalam beberapa dekade terakhir, dapat kita lihat tayangan televisi bergenre edukasi-kebudayaan menjamur di sebagian channel televisi Indonesia. Dekade 1990-an tayangan animasi serial Jepang mendominasi ragam tontonan masyarakat Indonesia. Hingga kemudian tidak dapat dipungkiri bahwasanya perkembangan kultur Jepang dewasa ini cukup mendapat tempat bagi masyarakat Indonesia. Transformasi nilai yang disampaikan melalui visualisasi tayangan karakter dan tokoh dalam serial Jepang bukan mustahil menjadi hal yang turut mempengaruhi eksistensi ragam seperti Cosplay dan Harajuku sebagai kultur Jepang di Indonesia. Disinilah poin bahwasanya pencitraan serta eksistensi suatu bangsa dapat terbangun dengan sebuah perangkat teknologi komunikasi.
Dewasa ini, tingkat ketertarikan masyarakat Indonesia bukan lagi terfokus pada tayangan impor anime Jepang. Namun hal tersebut juga tidak mengubah paradigma bahwa produk lokal cukup mendapat tempat dalam industri hiburan tanah air. Hal yang tengah terjadi saat ini adalah merambahnya pecinta animasi berciri melayu berlatar belakang norma-norma negara Malaysia. Dapat dipastikan penikmat dunia pertelevisian mengenal karakter Ipin dan Upin melalui sebuah mini seri oleh salah satu perusahaan televisi tanah air. Substansi cerita sarat kebudayaan melayu Malaysia menggiring pemirsa Indonesia ke dalam konteks kultur kental Malaysia. Fenomena yang terjadi adalah kecanduan penikmat pertelevisian Indonesia mengenal lebih jauh alur cerita di dalamnya. 

Tebukti melalui sebuah survey oleh AGB Nielsen, salah satu surveyor rating share program televisi, program tayangan Upin dan Ipin berhasil menarik sekitar 596.000 pemirsa Indonesia dan dengan rating share 5.9% serta menempati peringkat pertama pada jajaran program tayangan anak-anak.[4] Kehadiran tayangan Ipin dan Upin dianggap sebagai tayangan sarat pendidikan meski menjual produk asing. Tanpa disadari memang oleh para pecinta film tersebut, namun yang pasti hal tersebut membuktikan salah satu keberhasilan Malaysia memperkenalkan khazanah kultur mereka, dan membentuk citra terhadap publik internasional melalui visualisasi para pelaku film.

Menurut riset yang dikaji oleh Gerbner dalam (Baran, 2003: 324-325) mengenai karakteristik teknologi audio visual (televisi), persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan.[5] Teknologi audio visual mempunyai kapabilitas untuk lebih menarik simpati penonton melalui visualisasi gambar bergerak dengan segala pesan, lingkungan, kultur dan nilai yang dibawakan oleh tokoh. Kontinuitas visualisasi tersebut akan membentuk persepsi penonton yang tanpa disadari akan turut memberikan pengaruh terhadap kehidupan keseharian mereka. Selama penikmat tayangan melakukan kontak dengan televisi dan program tersebut, tendensi yang mungkin terjadi adalah mereka belajar mempelajari mengenai nilai, lingkungan serta kultur dari visualisasi televisi.

Berkaitan dengan pengaruh media visual yang menghantarkan tayangan Ipin dan Upin merajai panggung hiburan program edukasi-kebudayaan di Indonesia, nampaknya tidak dapat dipungkiri bahwasanya media audio visual berhasil menjadi sebuah mediator sebagai diplomat publik yang menanamkan pengaruh kepada ribuan pemirsa di Indonesia. Hal ini dapat kita tinjau dari kecenderungan anak-anak dalam menirukan logat khas Malaysia yang tersampaikan dengan sangat apik oleh Ipin dan Upin. Penggunaan kata yang sarat dialek melayu Malaysia (seperti “betul..betul..betul..” atau “selamat pagi cek gu”) tersebut mengundang keinginan anak-anak (penikmat tayangan) untuk turut menggunakannya. Akibatnya, kemahiran menirukan logat melayu Malaysia oleh mereka merupakan suatu hal yang mudah didapat dengan adanya intensitas tayangan Ipin dan Upin yang mereka tonton. Dalam sekali kesempatan, Ipin dan Upin mampu menjadi brand ambassador untuk mewakili citra Malaysia di tanah air. Bandingkan saja dengan program tayangan lokal semacam Unyil dan Pak Raden secara rating share program tayangan anak-anak pun mereka menempati peringkat di bawah tokoh Upin dan Ipin. Jelas kekhawatiran akan pergeseran nilai-nilai lokal oleh dominasi nilai budaya Melayu (yang bukan menjadi identitas Indonesia) terlihat eksplisit disini. 

Tayangan impor bermuatan karakter budaya negara tertentu yang telah mendominasi keadaan suatu negara lain berpotensi dijadikan propaganda untuk alasan politis dan kepentingan nasional negara tersebut. Diplomasi publik yang secara tidak langsung diperoleh pemerintah Malaysia melalui keberhasilan pelaku industri bisnis media dalam ekspansionisme tayangan program edukasi-budaya dan pemanfaatan teknologi komunikasi audio visual jelas memberikan keuntungan bagi pencapaian kepentingan nasional.  Malaysia turut mempromosikan diri dan membangun citra bagi publik internasional.



REFERENS

BUKU
Grunig, J. E. (1992). Excellence in public relations and communication management. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates
Light, Donald, Suzanne Keller dan Craig Calhoun. (1989). Sociology. Edisi Kelima. New York: Alfred A. Knopf
Manheim, J. (1994). Strategic public diplomacy and American foreign policy: The evolution of influence. New York: Oxford University Press.
Naveh, Chanan. “The Role of Media in Foreign Policy Decision Making Process: A Theoritical Framework”, www.cco-regeneronline.de,
JURNAL
Jurnal Ilmiah SCRIPTURA : ISSN 1978-385X Vol. 1 No.1 Januari 2007

SUMBER LAIN




[1] Jurnal Ilmiah SCRIPTURA : ISSN 1978-385X Vol. 1 No.1 Januari 2007
[2] Naveh, Chanan. “The Role of Media in Foreign Policy Decision Making Process: A Theoritical Framework”, www.cco-regeneronline.de, diakses pada 29 Mei 2011 pukul 19.38 WIB
[3] Grunig, J. E. (1992). Excellence in public relations and communication management. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates
[4] www.agbnielsen.net, diakses pada 29 Mei 2011 pukul 20.20 WIB
[5] Jurnal Ilmiah SCRIPTURA : ISSN 1978-385X Vol. 1 No.1 Januari 2007